FROM WASTE TO ENERGY
Ditulis sebagai Review Kajian Ilmiah Sore Agritech Study Club
Oleh: Dr. Ria Millati, ST.,MT.
Pernahkah kalian melihat sisa
makanan terbungkus plastik atau sayuran dan buah membusuk bersama bahan-bahan
plastik yang menumpuk di pinggiran jalan atau pinggiran sungai? Apa yang kalian
rasakan? Jijik? Tentu. Prihatin? Bisa jadi. Berniat membuangnya ke tempat yang
seharusnya? Jawabannya belum tentu mau. Inilah yang menjadi fenomena miris yang
bisa dilihat langsung di lingkungan sekitar kita. Masih banyak masyarakat kita
yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya kebersihan lingkungan. Kesadaran
kebersihan saja belum terbangun, bagaimana mungkin bisa sadar untuk mengolah sisa-sisa
itu menjadi sesuatu yang bermanfaat?
Seringkali
kita masih menyamakan limbah dan sampah. Memang apa bedanya? Bukankah sama-sama
barang sisaan? Baik sisa hasil produksi industri, sisa rumah tangga, dan juga
sisa karena pembusukan? Ternyata keduanya punya arti yang berbeda. Limbah dan
sampah (PADAT, GAS, CAIR) pada dasarnya suatu bahan yang terbuang atau dibuang
dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak
atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang
negatif (Millati,2015). Perbedaannya ialah limbah dapat dimanfaatkan kembali
sedangkan sampah merupakan zat sisa yang benar-benar sudah tidak bisa
dimanfaatkan kembali, bisa berupa zat sisa dari pengolahan limbah.
Berdasarkan
data statistik dari Waste
Statistic of Indonesia tahun 2008, diketahui bahwa open dumping atau pembuangan limbah di
area terbuka memiliki presentase paling tinggi, yaitu sebesar 68,6%. Disusul
oleh landfilling dan composting, pembakaran sampah, dan pembuangan ke sungai. Landfill
berupa area yang dibuat lebih rendah
dari tanah/lahan sekitarnya untuk menimbun sampah, yang memang tidak dapat di-recycle atau di-reuse (Scottish Environment Protection Agency, 2014). Kondisi
tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan transformasi kebijakan dan
strategi, yaitu dengan memaksimalkan reduce-reuse-recycle dan meminimalkan
disposal/pembuangan di landfill.
Limbah apapun
baik itu padat atau cair, baik itu organik maupun anorganik, harapannya ialah
jangan sampai disia-siakan. Mengapa sampai begitu tajamnya perhatian dari pemerintah
dan seharusnya kita sebagai masyarakat terhadap limbah? Cobalah kita tengok
seberapa banyakkah cadangan energi yang negara kita miliki. Mungkin kita sudah
tak kaget ketika pernah terjadi kelangkaan BBM di beberapa daerah, juga
pemadaman listrik secara bergilir. Ya...Seperti itulah kondisi negara Indonesia
saat ini. Jumlah penduduk yang makin meningkat serta proporsi konsumsi pada beberapa jenis sumber energi
seperti minyak bumi dan bahan bakar fosil lainnya yang relatif tinggi, memaksa
negara untuk terus menghemat pemakaian energi yang sumbernya kini mulai
menipis. Kurang lebih permasalahan
inilah yang menuntut sinergisitas antara pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat
untuk mampu menciptakan energi terbarukan.
Bahkan pemerintah memiliki visi 25/25, yang maksudnya pemerintah
menargetkan pada tahun 2025 : energi terbarukan dapat memberi kontribusi 25%
dari total sumber energi lainnya seperti gas alam, minyak bumi, dan batu bara.
Salah satu
bentuk energi terbarukan yang sampai saat ini masih diusahakan yaitu BIOGAS.
Biogas diperoleh dari proses fermentasi limbah organik seperti limbah pertanian
maupun limbah pengolahan hasil pertanian. Limbah tersebut antara lain dapat
berupa kotoran ternak, sisa buah dan sayur, jerami, bonggol jagung, dan
lain-lain. Limbah tersebut ditempatkan dalam area yang didesain tidak ada
oksigen (dalam skala besar: Biogas
Fermentor, dalam skala laboratorium: Reaktor Balon), kemudian diuraikan dengan bantuan bakteri
anaerob, hingga dihasilkan gas metana (CH4). Gas ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar kompor gas dan beberapa jenis kendaraan.
Rasanya perlu
untuk membandingkan negara kita dengan negara-negara maju di Eropa yang sudah
rapi pengolahan limbahnya, seperti Swedia. Negara Swedia ini menerapkan konsep ZERO WASTE. Dan konsepnya dapat berjalan
baik karena didukung kesadaran juga dari masyarakatnya. Buktinya tiap rumah tangga
di Swedia sudah memisahkan antara sampah organik dan anorganiknya. Sampah
organik ditempatkan di plastik hitam dan anorganik di plastik putih. Begitu
sampai di tempat pengolahan limbah, plastik-plastik ini sudah dipisahkan secara
otomatis. Kemudian sampah organiknya seperti sisa makanan masuk ke digestor
lalu ada yang masuk ke biogas fermentor untuk memproduksi biogas dan sebagian
ada yang menjadi pupuk (biofertilizer),
sedangkan sampah anorganik seperti plastik melalui proses pembakaran. Energi
panas yang dilepaskan dari pembakaran (combustion) ini dapat menggerakkan
turbin uap dengan daya mencapai 132 GWh dan menjadi sumber energi jaringan
pemanas pada suatu daerah dengan daya mencapai 632 GWh. Dengan proses itulah,
ternyata memang benar konsep Zero Waste
yang mereka terapkan sebab memang benar tidak ada sampah yang terbuang sia-sia.
Dari contoh
negara Swedia itulah, harusnya kita yakin pula bisa memiliki pengolahan limbah
yang demikian sistematisnya. Limbah apapun, baik dari rumah tangga, industri,
maupun pertanian bisa jadi produk
berkualitas. Melalui proses biologis, bisa diihasilkan biogas, bioetanol, dan
biopolimer; melalui proses kimia bisa dihasilkan biodiesel dan zat kimia
tertentu; melalui proses recycling sampah-sampah anorganik seperti kaca,
plastik, dan kertas dapat menjadi bernilai ekonomis; serta melalui konversi
dapat dihasilkan energi listrik, panas, dan energi untuk pendinginan
(chilling).
Dalam pemanfaatan
limbah ada 5 hal yang menjadi fokus, yakni : karakteristik, ketersediaan, teknologi,
dampak lingkungan serta keuntungannya. Jika itu semua sudah digenggam, sekarang..
tinggal sejauh mana masyarakat Indonesia bersinergi dengan pemerintah dan
ilmuwan untuk mau dan mampu memanfaatkan limbah ini. Seharusnya sekarang kita sudah sadar bahwa
limbah telah menjadi potensi energi
terbarukan. Suatu saat nanti atau bahkan mungkin mulai saat ini, limbah menjadi sebuah
kebutuhan, karena berpotensi mampu menjaga ketahanan energi di bumi kita ini.
Jadi..
jika kamu masih ingin lampu bisa terus menerangi kamarmu, jika kamu masih ingin
bisa naik motor ke kampus, dan jika kamu masih ingin bisa memasak dengan kompor
gas..masih maukah kamu menyia-nyiakan limbah? (Brigita Riesty,
2015)