Kamis, 06 Agustus 2015

FROM WASTE TO ENERGY 
Ditulis sebagai Review Kajian Ilmiah Sore Agritech Study Club
Oleh: Dr. Ria Millati, ST.,MT.

              Pernahkah kalian melihat sisa makanan terbungkus plastik atau sayuran dan buah membusuk bersama bahan-bahan plastik yang menumpuk di pinggiran jalan atau pinggiran sungai? Apa yang kalian rasakan? Jijik? Tentu. Prihatin? Bisa jadi. Berniat membuangnya ke tempat yang seharusnya? Jawabannya belum tentu mau. Inilah yang menjadi fenomena miris yang bisa dilihat langsung di lingkungan sekitar kita. Masih banyak masyarakat kita yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya kebersihan lingkungan. Kesadaran kebersihan saja belum terbangun, bagaimana mungkin bisa sadar untuk mengolah sisa-sisa itu menjadi sesuatu yang bermanfaat?

                Seringkali kita masih menyamakan limbah dan sampah. Memang apa bedanya? Bukankah sama-sama barang sisaan? Baik sisa hasil produksi industri, sisa rumah tangga, dan juga sisa karena pembusukan? Ternyata keduanya punya arti yang berbeda. Limbah dan sampah (PADAT, GAS, CAIR) pada dasarnya suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif (Millati,2015). Perbedaannya ialah limbah dapat dimanfaatkan kembali sedangkan sampah merupakan zat sisa yang benar-benar sudah tidak bisa dimanfaatkan kembali, bisa berupa zat sisa dari pengolahan limbah.

                Berdasarkan data statistik dari Waste Statistic of Indonesia tahun 2008, diketahui bahwa open dumping atau pembuangan limbah di area terbuka memiliki presentase paling tinggi, yaitu sebesar 68,6%. Disusul oleh landfilling dan composting, pembakaran sampah, dan pembuangan ke sungai. Landfill  berupa area yang dibuat lebih rendah dari tanah/lahan sekitarnya untuk menimbun sampah, yang memang tidak dapat di-recycle atau di-reuse (Scottish Environment Protection Agency, 2014). Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan transformasi kebijakan dan strategi, yaitu dengan memaksimalkan reduce-reuse-recycle dan meminimalkan disposal/pembuangan di landfill.
Limbah apapun baik itu padat atau cair, baik itu organik maupun anorganik, harapannya ialah jangan sampai disia-siakan. Mengapa sampai begitu tajamnya perhatian dari pemerintah dan seharusnya kita sebagai masyarakat terhadap limbah? Cobalah kita tengok seberapa banyakkah cadangan energi yang negara kita miliki. Mungkin kita sudah tak kaget ketika pernah terjadi kelangkaan BBM di beberapa daerah, juga pemadaman listrik secara bergilir. Ya...Seperti itulah kondisi negara Indonesia saat ini. Jumlah penduduk yang makin meningkat serta proporsi  konsumsi pada beberapa jenis sumber energi seperti minyak bumi dan bahan bakar fosil lainnya yang relatif tinggi, memaksa negara untuk terus menghemat pemakaian energi yang sumbernya kini mulai menipis.  Kurang lebih permasalahan inilah yang menuntut sinergisitas antara pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat untuk mampu menciptakan energi terbarukan.  Bahkan pemerintah memiliki visi 25/25, yang maksudnya pemerintah menargetkan pada tahun 2025 : energi terbarukan dapat memberi kontribusi 25% dari total sumber energi lainnya seperti gas alam, minyak bumi, dan batu bara.

Salah satu bentuk energi terbarukan yang sampai saat ini masih diusahakan yaitu BIOGAS. Biogas diperoleh dari proses fermentasi limbah organik seperti limbah pertanian maupun limbah pengolahan hasil pertanian. Limbah tersebut antara lain dapat berupa kotoran ternak, sisa buah dan sayur, jerami, bonggol jagung, dan lain-lain. Limbah tersebut ditempatkan dalam area yang didesain tidak ada oksigen (dalam skala besar: Biogas Fermentor, dalam skala laboratorium: Reaktor Balon),  kemudian diuraikan dengan bantuan bakteri anaerob, hingga dihasilkan gas metana (CH4). Gas ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar kompor gas dan beberapa jenis kendaraan.

Rasanya perlu untuk membandingkan negara kita dengan negara-negara maju di Eropa yang sudah rapi pengolahan limbahnya, seperti Swedia. Negara Swedia ini menerapkan konsep ZERO WASTE. Dan konsepnya dapat berjalan baik karena didukung kesadaran juga dari masyarakatnya. Buktinya tiap rumah tangga di Swedia sudah memisahkan antara sampah organik dan anorganiknya. Sampah organik ditempatkan di plastik hitam dan anorganik di plastik putih. Begitu sampai di tempat pengolahan limbah, plastik-plastik ini sudah dipisahkan secara otomatis. Kemudian sampah organiknya seperti sisa makanan masuk ke digestor lalu ada yang masuk ke biogas fermentor untuk memproduksi biogas dan sebagian ada yang menjadi pupuk (biofertilizer), sedangkan sampah anorganik seperti plastik melalui proses pembakaran. Energi panas yang dilepaskan dari pembakaran (combustion) ini dapat menggerakkan turbin uap dengan daya mencapai 132 GWh dan menjadi sumber energi jaringan pemanas pada suatu daerah dengan daya mencapai 632 GWh. Dengan proses itulah, ternyata memang benar konsep Zero Waste yang mereka terapkan sebab memang benar tidak ada sampah yang terbuang sia-sia.

Dari contoh negara Swedia itulah, harusnya kita yakin pula bisa memiliki pengolahan limbah yang demikian sistematisnya. Limbah apapun, baik dari rumah tangga, industri, maupun pertanian  bisa jadi produk berkualitas. Melalui proses biologis, bisa diihasilkan biogas, bioetanol, dan biopolimer; melalui proses kimia bisa dihasilkan biodiesel dan zat kimia tertentu; melalui proses recycling sampah-sampah anorganik seperti kaca, plastik, dan kertas dapat menjadi bernilai ekonomis; serta melalui konversi dapat dihasilkan energi listrik, panas, dan energi untuk pendinginan (chilling).


Dalam pemanfaatan limbah ada 5 hal yang menjadi fokus, yakni : karakteristik, ketersediaan, teknologi, dampak lingkungan serta keuntungannya. Jika itu semua sudah digenggam, sekarang.. tinggal sejauh mana masyarakat Indonesia bersinergi dengan pemerintah dan ilmuwan untuk mau dan mampu memanfaatkan limbah ini.  Seharusnya sekarang kita sudah sadar bahwa limbah telah  menjadi potensi energi terbarukan. Suatu saat nanti atau bahkan mungkin  mulai saat ini, limbah menjadi sebuah kebutuhan, karena berpotensi mampu menjaga ketahanan energi di bumi kita ini. 

Jadi.. jika kamu masih ingin lampu bisa terus menerangi kamarmu, jika kamu masih ingin bisa naik motor ke kampus, dan jika kamu masih ingin bisa memasak dengan kompor gas..masih maukah kamu menyia-nyiakan limbah?   (Brigita Riesty, 2015)